Agama dan Sains Harus Sejalan

Kaum materialis, dalam usaha merahasiakan kekalahan mereka oleh sains, sering mencari selamat melalui pelbagai metode propaganda. Yang terkemuka dari propaganda itu adalah klise “konflik antara sains dan agama”, yang biasa digunakan oleh publikasi materialis. Sumber-sumber ini meliput kisah-kisah yang dimaksudkan untuk menghasut pembaca umum, dengan menyatakan bahwa sepanjang sejarah, agama selalu bertentangan dengan sains, dan bahwa sains dapat maju hanya jika agama disingkirkan.

Akan tetapi, tinjauan sekilas terhadap sejarah sains sudah cukup untuk menunjukkan kebohongan klaim ini. 

Apabila kita menengok sejarah Islam, kita lihat bahwa sains diperkenalkan di Timur Tengah bersama Al Quran. Bangsa Arab pra-Islam memercayai segala macam takhayul dan desas-desus, dan tidak berusaha menyelidiki jagat raya atau alam. Dengan Islam, masyarakat ini menjadi ber-budaya, mulai menjunjung tinggi pengetahuan. Dengan mengamati perintah-perintah Al Quran, mereka mulai mencermati dunia di sekitarnya. Tidak hanya bangsa Arab, tetapi banyak negara lain, seperti Iran, Turki, dan Afrika Utara, mendapatkan pencerahan setelah memeluk Islam. Penggunaan akal sehat dan pengamatan yang diperintah-kan Al Quran membangkitkan peradaban besar di abad ke-9 dan ke-10. Banyak ilmuwan muslim yang hidup dalam periode ini membuat penemuan penting dalam sejumlah disiplin ilmu, seperti astronomi, matematika, geometri, dan kedokteran.


Pentingnya ilmu pengetahuan dalam Islam juga ditekankan dalam hadits Rasulullah saw. Ada banyak hadits yang mendorong kaum muslim untuk mencari pengetahuan dan menyebarkannya. Sebagian hadits itu berbunyi:

Orang yang berjalan dalam mencari ilmu, Allah memberi jalan baginya menuju surga.... Pelajaran adalah dari warisan Rasulullah saw., karena Rasulullah saw. tidak meninggalkan warisan kekayaan tetapi pengetahuan. Maka barangsiapa ikut serta di dalamnya akan mem-peroleh manfaat yang berlimpah-ruah.

Orang yang beriman tidak pernah merasa puas untuk mencari ilmu; ia terus mencari ilmu hingga ajal tiba dan dapat masuk surga.

Dikisahkan bahwa Rasulullah saw. biasa mengucapkan doa setalah shalat Shubuh, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, dan ketetapan yang baik.”

Andalusia, yang berperan penting dalam alih pengetahuan ilmiah ke Eropa, di samping menghasilkan banyak ilmuwan muslim, juga merupakan tempat temuan-temuan revolusioner dan kemajuan ilmiah, terutama dalam bidang kedokteran. Dokter muslim tidak mengkhusus-kan diri pada satu bidang ilmu, tetapi meluaskan studi mencakup farmakologi, ilmu bedah, ilmu pengobatan mata, kebidanan, fisiologi, bakteriologi dan ilmu kesehatan. Salah satu dokter Andalusia yang terkemuka adalah Ibnu Juljul (?-992), yang melakukan studi mendalam terhadap tumbuhan obat, dan memberikan sumbangan besar dalam sejarah kedokteran serta tumbuhan obat. Dokter lainnya yang terkenal adalah Abu Ja'far bin Al Jazzar (?- 1009) dari Tunisia, yang menguasai ilmu terapi obat untuk mengatasi penyakit dan gejala tertentu. Dan dia menulis lebih dari 30 buku. Abdul Latif al Baghdadi (1162-1231) terkenal karena studinya dalam bidang anatomi. Ia mengoreksi kekeliruan yang dibuat di masa lalu dalam studi anatomis terhadap banyak tulang tubuh, seperti rahang dan tulang dada. Buku Baghdadi, Al Ifade ve'l Itibar, dipublikasikan kembali pada tahun 1788, dan diterjemahkan dalam bahasa Latin, Jerman dan Prancis. Bukunya, Makalatun fi'l Havas membahas panca indera.

Ahli anatomi muslim menentukan jumlah tulang dalam tengkorak manusia dengan tepat, dan menemukan keberadaan tiga ossicle, tulang-tulang kecil di telinga. Salah seorang ilmuwan muslim terkemuka yang bekerja dalam bidang anatomi adalah Ibnu Sina ( 980-1037), yang dikenal di Barat dengan nama Avicenna. Mempelajari matematika, geometri, fisika, ilmu alam, filosofi dan logika pada tahun-tahun awalnya, Ibnu Sina tidak hanya terkenal di Timur, tetapi juga di Barat. Karyanya yang paling populer adalah Al Qanun fi Al Tibb, yang dikenal sebagai The Canon of Medicine di Barat, ditulis dalam bahasa Arab dan setelah diterjemahankan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12, menjadi buku teks di sekolah-sekolah Eropa sampai abad ke-17. Canon membahas penyakit dan obat dengan cara sistematis. Selain itu, Ibnu Sina menulis lebih dari 100 buku filosofi dan ilmu alam. Sebagian besar ilmu kedokteran yang terdapat dalam Canon masih diterima hingga hari ini.

 Zakariya Qazwini menentang banyak kepercayaan salah kaprah tentang jantung dan otak yang telah dinyatakan sejak Aristoteles. Fakta yang diberikannya tentang jantung dan otak sangat dekat dengan pengetahuan kita dewasa ini.

Karya-karya Zakariya Qazwini, Hamdullah al Mustaufi Al Qazwini (1281-1350), dan Ibnu al Nafis dalam bidang anatomi, menjadi dasar bagi kedokteran modern. Sejak abad ke-13 dan ke-14, para ilmuwan ini menunjukkan hubungan antara jantung dan paru-paru; arteri membawa darah yang mengandung oksigen, dan vena membawa darah yang terdeoksigenasi; darah dioksigenasi di paru-paru, darah beroksigen yang kembali ke jantung dibawa ke otak dan organ tubuh lainnya melalui aorta.

Volume pertama buku Ali bin Isa (?- 1038) tentang penyakit mata yang disebut Tazkiratul Kahhalin fil Ain dan Emraziha, seluruhnya membahas anatomi mata dan mencakup informasi sangat terperinci. Karyanya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Jerman.

Muhammad Ibnu Zakariya ar Razi (Rhazes) (865-925), Burhanuddin Nafis (?-1438), Isma'il Jurjani (?- 1136), Qutbuddin al Shirazi (1236-1310), Mansur Ibnu Muhammad, Abu al Qasim al Zahrawi (Albucasis), adalah sebagian kecil ilmuwan muslim yang terkenal karena studi mereka dalam bidang kedokteran dan anatomi.

Banyak pula ilmuwan muslim yang memberikan sumbangan besar untuk pelbagai disiplin ilmu selain kedokteran dan anatomi. Sebagai contoh, Al Biruni mengetahui bahwa bumi berotasi pada sumbunya 600 tahun sebelum Galileo, dan menghitung lingkar bumi 700 tahun sebelum Newton. Ali Kushchu, seorang ilmuwan abad ke-15, adalah orang pertama yang membuat peta bulan, dan suatu daerah di bulan telah dinamai dengan namanya. Tsabit ibn Qurrah (Thebit), yang hidup pada abad ke-9, menemukan kalkulus diferensial berabad-abad sebelum Newton. Battani, ilmuwan abad ke-10, adalah pengembang pertama trigonometri. Abul Wafa Muhammad al Buzjani mengenalkan “tangen-kotangen, sekan-kosekan” pada trigonometri untuk pertama kalinya. Al Khawarizmi menulis buku aljabar pertama pada abad  ke-9. Al Maghribi menemukan persamaan yang saat ini dikenal sebagai Segitiga Pascal, sekitar 600 tahun sebelum Pascal. Ibn al Haitsam (Alhazen) yang hidup pada abad ke-11, adalah penemu optik. Roger Bacon dan Kepler menggu-nakan karyanya, dan Galileo menemukan teleskop dengan merujuk mereka. Al Kindi (Alkindus) mengenalkan fisika relatif dan teori rela-tivitas 1100 tahun sebelum Einstein. Syamsuddin, yang hidup sekitar 400 tahun sebelum Pasteur, adalah orang pertama yang menemukan kebe-radaan kuman. Ali Ibnu al Abbas yang hidup di abad ke-10 adalah orang yang pertama melakukan operasi bedah kanker. Pada abad yang sama, Ibnu Al Jirr memperkenalkan metode perawatan lepra. Para ilmuwan muslim — hanya sebagian kecil yang disebutkan di sini — membuat penemuan-penemuan penting yang menjadi pondasi bagi sains modern.

Bila kita memerhatikan peradaban Barat, kita lihat kedatangan sains modern disertai dengan keyakinan kepada Tuhan. Abad ke-17, yang dikenal sebagai “zaman revolusi ilmiah”, dipenuhi ilmuwan yang memiliki tujuan utama untuk mengeksplorasi jagat raya dan alam yang diciptakan Allah. Semua lembaga ilmiah yang didirikan di pelbagai negara, seperti Inggris dan Prancis, bertujuan utama “mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menemukan hukum-hukum-Nya”. Kecenderungan yang sama terjadi juga pada abad ke-18. Beberapa ilmuwan yang terkenal dengan kepercayaan mereka terhadap Tuhan, dan yang memberikan sumbangan penting bagi dunia sains, adalah Newton, Kepler, Copernicus, Bacon, Galileo, Pascal, Boyle, Paley, Cuvier, dan lain-lain (untuk keterangan lebih lanjut, silakan buka bab “Ilmuwan yang Meyakini Keberadaan Tuhan ”).

Para ilmuwan ini percaya kepada Tuhan dan meng-amalkan sains dengan inspirasi yang diperoleh dari keima-nan mereka. Salah satu indikasi terbaik untuk hal ini adalah “Bridgewater Treatises”, serangkaian penerbitan yang dike-luarkan di Inggris pada awal abad ke-19. Sejumlah ilmuwan melakukan riset dalam pelbagai disiplin ilmu, dan meng-gambarkan objek studi mereka sebagai “tanda-tanda  kese-larasan dan aturan yang diciptakan Tuhan di alam dan jagat raya”. Metode yang digunakan oleh para ilmuwan ini dikenal sebagai “Teologi Alami”, yang berarti “Mengenal Tuhan melalui alam”.

Adalah buku William Paley, Natural Theology: Evidences of Existence and Attributes of the Deity, Collected From the Appearances of Nature, (Teologi Alami: Bukti Keberadaan dan Atribut Tuhan, Dikumpulkan dari Fenomena-Fenomena Alam), diterbitkan pada tahun 1802, yang memelopori “Bridgewater Treatises”. Dalam buku ini, Paley memberikan contoh rancangan pada makhluk hidup yang menunjukkan pengetahuan anatomi secara menyeluruh.

Dengan menjadikan karya Paley sebagai model, dikeluarkan seruan kepada anggota terpilih dari Royal Society of London. Selanjutnya diarahkan bahwa mereka yang terpilih harus ditunjuk untuk menulis, mencetak, dan menerbitkan seribu salinan dari sebuah karya yang mengkaji kekuasaan, kebijaksanaan dan kebaikan Tuhan sebagaimana terwujud dalam penciptaan yang menggambarkan karya seperti itu berdasarkan segenap argumen yang logis, misalnya, keberagaman dan pembentukan makhluk-makhluk Tuhan, pada binatang, tumbuhan dan dunia mineral; efek pencernaan dan proses pengubahan; konstruksi tangan manusia, dan pelbagai argumen lain yang tanpa batas; di samping juga berdasarkan temuan-temuan kuno dan modern dalam seni, sains, dan seluruh literatur modern.”

Imbauan untuk mengkaji tanda-tanda keberadaan Tuhan telah dijawab oleh banyak ilmuwan yang menghasilkan kajian-kajian sangat berharga. Karya mereka sebagai hasilnya adalah sebagai berikut:

(1)  “The Adaptation of External Nature to the Moral and Intellectual Constitution of  Man”,                         oleh Thomas Chalmers (1833)
(2)   “Chemistry, Meteorology, and Disgestion”, oleh William Prout, M. D (1834)
(3)   “History, Habits, and Instincts of Animals”, oleh William Kirby (1835)
(4)   “The Hand as Evincing Design”, oleh Sir Charles Bell (1837)
(5)   “Geology and Mineralogy”, oleh Dean Buckland (1837)
(6)   “The Adaptation of External Nature to the Physical Condition of Man”, oleh  J. Kidd, M. D                   ( 1837)
(7)   “Astronomy and General Physics”, oleh Dr. William Whewell (1839)
(8)   “Animal and Vegetable Physiology”, oleh P. M. Roget, M. D. (1840).

“Bridgewater Treatises” hanya satu contoh pertemuan agama dan sains. Pendorong utama di belakang banyak studi ilmiah, yang dilakukan baik sebelum maupun setelah pekerjaan itu, adalah untuk mengetahui alam semesta yang diciptakan Tuhan, sehingga dapat memahami kemahakuasaan-Nya.

Penyimpangan masyarakat ilmiah dari tujuan semula disebabkan oleh dominasi filosofi materialis dalam budaya Barat abad ke-19, yang muncul akibat suatu kondisi sosial dan politis. Proses ini menemukan ekspresi totalnya di dalam teori evolusi Darwin, yang bertentangan dengan pandangan sebelumnya, dan mencapai klimaks sains dan agama sebagai dua sumber pengetahuan yang saling bertolak belakang.

Mengacu pada perkembangan ini, peneliti Inggris, Michael Baigent, Richard Leigh dan Henry Lincoln, mem-buat komentar ini:

Bagi Isaac Newton, satu setengah abad sebelum Darwin, sains tidak terpisah dari agama, justru sebaliknya, menjadi satu aspek dari agama, dan akhirnya tunduk padanya. …Tetapi sains di masa Darwin menjadi sumber makna al-ternatif, memisahkan diri dari konteks yang menjadi tem-patnya sebelumnya dan menetapkan dirinya sebagai sai-ngan absolut. Akibatnya, agama dan sains tidak lagi beker-ja selaras, tetapi berdiri saling berseberangan, dan manusia semakin dipaksa untuk memilih di antara keduanya.

Namun, dewasa ini, konflik yang direkayasa antara agama dan sains terbukti bertentangan dengan temuan-temuan sains sendiri. Agama menyatakan bahwa alam semesta telah diciptakan dari ketiadaan, dan sains telah menemukan bukti untuk fakta itu. Agama mengajarkan kepada kita bahwa makhluk hidup diciptakan Tuhan, dan sains telah memberi kita buktinya dalam desain yang ditemukan pada makhluk hidup. Di akhir bukunya, Natural Destiny, Michael Denton menulis: “Sains, yang selama berabad-abad menjadi sekutu ateisme dan skeptisisme, di hari-hari terakhir milenia kedua, pada akhirnya menjadi apa yang sangat didambakan oleh Newton dan para pendukung-nya semula - pembela keimanan antroposentrik.

Kesimpulan yang diperoleh sains telah membantu menguatkan keyakinan para ilmuwan terhadap Tuhan. Ahli biokimia terkemuka, Michael Behe, mengacu pada fakta ini ketika mengatakan “Secara kebetulan, ilmuwan yang percaya kepada Tuhan atau sebuah realitas di luar alam jauh lebih umum daripada kisah-kisah media populer yang menyesatkan. Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa angka 90% dari populasi umum yang percaya kepada Tuhan sangat berpengaruh bagi para ilmuwan."

Dihadapkan pada kesimpulan yang dicapai sains, yang bisa dilakukan materialis hanya-lah melakukan taktik penekanan, dan ber-usaha mengintimidasi masyarakat ilmiah lainnya. Di Barat, seorang ilmuwan harus memenuhi syarat tertentu agar dapat di-promosikan, menerima gelar MD. atau Ph.D., atau agar artikelnya diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Syarat pertama yang diwajibkan adalah menerima teori evolusi secara mutlak. Karena alasan ini, sebagian ilmuwan terpaksa mendukung mitos Darwin yang mungkin sebenarnya mereka tolak, dengan tak mengindahkan tanda-tanda penciptaan. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan majalah Scientific American pada bulan September 1999, berjudul “Ilmuwan dan Agama di Amerika”, sosiolog dari Universitas Washington, Rodney Stark, mengemukakan tekanan terhadap ilmuwan ini: 

Sudah berjalan selama 200 tahun, jika Anda ingin menjadi ilmuwan, Anda harus membebaskan pikiran dari be-lenggu agama. Dalam universitas yang melakukan peneli-tian, orang-orang beragama menutup mulut, dan orang-orang tak beragama melakukan diskriminasi. Ada sistem penghargaan untuk menjadi torang yang idak beragama di kalangan elite.


Sisi lain pergulatan sistematis yang dipaksakan oleh materialis terhadap sains adalah metode propaganda yang kita sebutkan di awal. Pusat propaganda ini adalah semboyan seperti “agama bertentangan dengan sains”, atau “sains harus menjadi materialis”. Sekarang, mari kita lihat mengapa klaim ini tidak logis dan tidak bisa bertahan. 


Al-Qur'an Dan Sain
Karya : Harun Yahya

Related Posts:

0 Response to "Agama dan Sains Harus Sejalan"

Post a Comment