Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa yang memberikan perintah?
Seabad yang lalu,
penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan para ahli
astronomi. Alasannya adalah peneri-maan umum atas gagasan bahwa alam semesta
telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan
berang-gapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mem-punyai
awal. Tidak ada momen “penciptaan”, yakni momen ketika alam semesta dan segala
isinya muncul.
Gagasan “keberadaan abadi”
ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari filsafat
materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di dunia Yunani kuno,
menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagat
raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filsafat ini bertahan
dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran
Romawi dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemun-duran karena
pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme
kembali mendapatkan penerimaan luas di antara pelajar dan ilmuwan Eropa,
sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap filsafat Yunani kuno.
Immanuel Kant-lah yang
pada masa Pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung kembali materialisme. Kant
menyatakan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas,
betapapun mus-tahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus
mempertahan-kan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta
materialisme. Pada awal abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai
awal— bahwa tidak pernah ada momen ketika jagat raya di-ciptakan—secara luas
diterima. Pandangan ini diba-wa ke abad ke-20 melalui karya-karya materialis
dia-lektik seperti Karl Marx dan Friedrich Engels.
Pandangan tentang alam
semesta tanpa batas sa-ngat sesuai dengan ateisme. Tidak sulit melihat
alas-annya. Untuk meyakini bahwa alam semesta mem-punyai permulaan, bisa
berarti bahwa ia di-ciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta,
yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk menghin-dari isu ini dengan
mengajukan gagasan bahwa “alam semesta ada selamanya”, meskipun tidak ada dasar
ilmiah sekecil apa pun untuk membuat klaim seperti itu. Georges Politzer, yang
mendukung dan memper-tahankan gagasan ini dalam buku-bukunya yang di-terbitkan
pada awal abad ke-20, adalah pendukung setia Marxisme dan Materialisme.
Dengan mempercayai
kebenaran model “jagat raya tanpa batas”, Politzer menolak gagasan penciptaan
dalam bukunya Principes Fonda-mentaux de Philosophie ketika dia menulis:
Alam semesta bukanlah
objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagat raya harus diciptakan
secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui
penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam
semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang
tidak bisa diterima sains.
Politzer menganggap sains
berada di pihaknya dalam pem-belaan-nya terhadap gagasan alam semesta tanpa
batas. Kenyataannya, sains merupakan bukti bahwa jagat raya sungguh-sungguh
mempunyai per-mulaan. Dan seperti yang dinyatakan Politzer sendiri, jika ada
penciptaan maka harus ada penciptanya.
1. Pengembangan Alam Semesta
dan Penemuan Dentuman Besar
Tahun 1920-an adalah tahun
yang penting dalam perkembangan as-tronomi modern. Pada tahun 1922, ahli fisika
Rusia, Alexandra Friedman, menghasilkan perhitungan yang menunjukkan bahwa
struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil pun mungkin cukup
untuk menyebabkan struktur keseluruhan mengembang atau mengerut menurut Teori
Relativitas Einstein. George Lemaitre adalah orang pertama yang menyadari apa
arti perhitungan Friedman. Berdasarkan perhitungan ini, astronomer Belgia,
Lemaitre, menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia
mengembang sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga
menyatakan bahwa tingkat radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai
ukuran akibat (aftermath) dari “sesuatu” itu.
Pemikiran teoretis kedua
ilmuwan ini tidak menarik banyak per-hatian dan barangkali akan terabaikan
kalau saja tidak ditemukan bukti pengamatan baru yang mengguncangkan dunia
ilmiah pada tahun 1929. Pada tahun itu, astronomer Amerika, Edwin Hubble, yang
bekerja di Observatorium Mount Wilson California, membuat penemuan paling
penting dalam sejarah astronomi. Ketika mengamati sejumlah bintang melalui
teleskop raksasanya, dia menemukan bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke
arah ujung merah spektrum, dan bahwa per-geseran itu berkaitan langsung dengan
jarak bintang-bintang dari bumi. Penemuan ini mengguncangkan landasan model
alam semesta yang dipercaya saat itu.
Menurut aturan fisika yang
diketahui, spektrum berkas cahaya yang mendekati titik observasi cenderung ke
arah ungu, sementara spektrum berkas cahaya yang menjauhi titik observasi
cenderung ke arah merah. (Seperti suara peluit kereta yang semakin samar ketika
kereta semakin jauh dari pengamat). Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa menurut
hukum ini, benda-benda luar angkasa menjauh dari kita. Tidak lama kemudian,
Hubble membuat penemuan penting lagi; bintang-bintang tidak hanya menjauh dari
bumi; mereka juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang bisa
diturunkan dari alam semesta di mana segala sesuatunya saling menjauh adalah
bahwa alam semesta dengan konstan “mengembang”.
Hubble menemukan bukti
pengamatan untuk sesuatu yang telah “diramalkan” George Lamaitre sebelumnya,
dan salah satu pemikir terbesar zaman kita telah menyadari ini hampir lima
belas tahun lebih awal. Pada tahun 1915, Albert Einstein telah menyimpulkan
bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan-perhitungan
ber-dasarkan teori relativitas yang baru ditemukannya (yang mengantisipasi
kesimpulan Friedman dan Lemaitre). Terkejut oleh temuannya, Einstein
menambahkan “konstanta kosmologis” pada persamaannya agar muncul “jawaban yang
benar”, karena para ahli astronomi meyakinkan dia bah-wa alam semesta itu
statis dan tidak ada cara lain untuk membuat persa-maannya sesuai dengan model
seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein mengakui bahwa konstanta
kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam karirnya.
Penemuan Hubble bahwa alam
semesta mengembang memuncul-kan model lain yang tidak membutuhkan tipuan untuk
menghasilkan persamaan sesuai dengan keinginan. Jika alam semesta semakin besar
sejalan dengan waktu, mundur ke masa lalu berarti alam semesta semakin kecil;
dan jika seseorang bisa mundur cukup jauh, segala sesuatunya akan mengerut dan
bertemu pada satu titik. Kesimpulan yang harus diturun-kan dari model ini
adalah bahwa pada suatu saat, semua materi di alam semesta ini terpadatkan
dalam massa satu titik yang mempunyai “volume nol” karena gaya gravitasinya
yang sangat besar. Alam semesta kita muncul dari hasil ledakan massa yang
mempunyai volume nol ini. Ledakan ini mendapat sebutan “Dentuman Besar” dan
keberadaannya telah berulang-ulang ditegaskan dengan bukti pengamatan.
Ada kebenaran lain yang
ditunjukkan Dentuman Besar ini. Untuk mengatakan bahwa sesuatu mempunyai volume
nol adalah sama saja dengan mengatakan sesuatu itu “tidak ada”. Seluruh alam
semesta dicip-takan dari “ketidakadaan” ini. Dan lebih jauh, alam semesta
mempunyai permulaan, berlawanan dengan pendapat materialisme, yang mengata-kan
bahwa “alam semesta sudah ada selamanya”.
Teori Dentuman Besar
dengan cepat diterima luas oleh dunia ilmiah karena bukti-bukti yang jelas.
Namun, para ahli astronomi yang memihak materialisme dan setia pada gagasan
alam semesta tanpa batas yang dituntut paham ini menentang Dentuman Besar dalam
usaha mereka mempertahankan doktrin fundamental ideologi mereka. Alasan mereka
dijelaskan oleh ahli astronomi Inggris, Arthur Eddington, yang berkata, “Secara
filosofis, pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keter-aturan alam
sekarang ini bertentangan denganku.”
Ahli astronomi lain yang
menentang teori Dentuman Besar adalah Fred Hoyle. Sekitar pertengahan abad
ke-20 dia mengemukakan sebuah model baru yang disebutnya “keadaan-stabil”, yang
tak lebih suatu per-panjangan gagasan abad ke-19 tentang alam semesta tanpa
batas. Dengan menerima bukti-bukti yang tidak bisa disangkal bahwa jagat raya
mengembang, dia berpendapat bahwa alam semesta tak terbatas, baik dalam dimensi
maupun waktu. Menurut model ini, ketika jagat raya mengembang, materi baru
terus-menerus muncul dengan sendirinya dalam jumlah yang tepat sehingga alam
semesta tetap berada dalam “keadaan-stabil”. Dengan satu tujuan jelas mendukung
dogma “materi sudah ada sejak waktu tak terbatas”, yang merupakan basis
filsafat mate-rialis, teori ini mutlak bertentangan dengan “teori Dentuman
Besar”, yang menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan. Pendukung teori
keadaan-stabil Hoyle tetap berkeras menentang Dentuman Besar selama
bertahun-tahun. Namun, sains menyangkal mereka.
2. Kemenangan Dentuman Besar
Pada tahun 1948, George
Gamov mengembangkan perhitungan George Lemaitre lebih jauh dan menghasilkan
gagasan baru mengenai Dentuman Besar. Jika alam semesta terbentuk dalam sebuah
ledakan be-sar yang tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu radiasi yang
ditinggalkan dari ledakan tersebut. Radiasi ini harus bisa dideteksi, dan lebih
jauh, harus sama di selu-ruh alam semesta.
Dalam dua dekade, bukti
pengamatan dugaan Gamov diperoleh. Pada tahun 1965, dua peneliti ber-nama Arno
Penzias dan Robert Wilson menemukan sebentuk radiasi yang selama ini tidak
teramati. Dise-but “radiasi latar belakang kosmik”, radiasi ini tidak seperti
apa pun yang berasal dari seluruh alam semesta karena luar biasa seragam.
Radiasi ini tidak dibatasi, juga tidak mempunyai sumber tertentu; alih-alih,
radiasi ini tersebar merata di seluruh jagat raya. Segera disadari bahwa
radiasi ini adalah gema Dentuman Besar, yang masih menggema balik sejak momen
pertama ledakan besar tersebut. Gamov telah mengamati bahwa frekuen-si radiasi
hampir mempu-nyai nilai yang sama dengan yang telah di-perkirakan oleh para
ilmu-wan sebelumnya. Penzias dan Wilson dianugerahi hadi-ah Nobel untuk
penemuan mereka.
Pada tahun 1989, George
Smoot dan tim NASA-nya meluncurkan sebuah satelit ke luar angkasa. Sebuah
in-strumen sensitif yang disebut “Cosmic Background Emission Explorer” (COBE)
di dalam satelit itu hanya memerlukan delapan menit untuk mendeteksi dan
menegaskan tingkat radiasi yang dilaporkan Penzias dan Wilson. Hasil ini secara
pasti menun-jukkan keberadaan bentuk rapat dan panas sisa dari ledakan yang
menghasilkan alam semesta. Kebanyakan ilmuwan mengakui bahwa COBE telah
berhasil menangkap sisa-sisa Dentuman Besar.
Ada lagi bukti-bukti yang
muncul untuk Dentuman Besar. Salah satunya berhubungan dengan jumlah relatif
hidrogen dan helium di alam semesta. Pengamatan menunjukkan bahwa campuran
kedua unsur ini di alam semesta sesuai dengan perhitungan teoretis dari apa
yang seharus-nya tersisa setelah Dentuman Besar. Bukti itu memberikan tusukan
lagi ke jantung teori keadaan-stabil karena jika jagat raya sudah ada selamanya
dan tidak mempunyai permulaan, semua hidrogennya telah terbakar menjadi helium.
Dihadapkan pada bukti
seperti itu, Dentuman Besar memperoleh persetujuan dunia ilmiah nyaris
sepenuhnya. Dalam sebuah artikel edisi Oktober 1994, Scientific American
menyatakan bahwa model Dentuman Besar adalah satu-satunya yang dapat
menjelaskan pengembangan terus menerus alam semesta dan hasil-hasil pengamatan
lainnya.
Setelah mempertahankan
teori Keadaan-Stabil bersama Fred Hoyle, Dennis Sciama menggambarkan dilema
mereka di hadapan bukti Den-tuman Besar. Dia berkata bahwa semula dia mendukung
Hoyle, namun setelah bukti mulai menumpuk, dia harus mengakui bahwa pertempuran
telah usai dan bahwa teori keadaan-stabil harus ditinggalkan.
Siapa yang Menciptakan
Alam Semesta dari Ketiadaan?
Dengan kemenangan Dentuman
Besar, tesis “alam semesta tanpa batas”, yang membentuk basis bagi dogma
materialis, dibuang ke tum-pukan sampah sejarah. Namun bagi materialis, muncul
pula dua perta-nyaan yang tidak mengenakkan: Apa yang sudah ada sebelum
Dentuman Besar? Dan kekuatan apa yang telah menyebabkan Dentuman Besar sehingga
memunculkan alam semesta yang tidak ada sebelumnya?
Materialis seperti Arthur
Eddington menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini dapat
mengarah pada keberadaan pencipta agung dan itu tidak mereka sukai. Filsuf
ateis, Anthony Flew, mengomentari masalah ini:
Jelas sekali, pengakuan
itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan mulai dengan mengakui bahwa
penganut ateis Stratonis harus merasa malu dengan konsensus kosmologis dewasa
ini. Karena tampaknya para ahli kos-mologi menyediakan bukti ilmiah untuk apa
yang dianggap St. Thomas tidak terbukti secara filosofis; yaitu, bahwa alam
semesta mempunyai permulaan. Selama alam semesta dapat dengan mudah dianggap
tidak hanya tanpa akhir, namun juga tanpa permulaan, akan tetap mudah untuk
mendesak bahwa keberadaannya yang tiba-tiba, dan apa pun yang ditemukan menjadi
ciri-cirinya yang paling mendasar, harus diterima sebagai penjelasan akhir.
Meskipun saya mempercayai bahwa teori itu (alam semesta tanpa batas) masih
benar, tentu saja tidak mudah atau nyaman untuk mempertahankan posisi ini di
hadapan kisah Dentuman Besar.
Banyak ilmuwan yang tidak
mau memaksakan diri menjadi ateis menerima dan mendukung keberadaan pencipta
yang mempunyai kekuatan tak terbatas. Misalnya, ahli astrofisika Amerika, Hugh
Ross, menyatakan Pencipta jagat raya, yang berada di atas segala dimensi fisik,
sebagai:
Secara definisi, waktu
adalah dimensi di mana fenomena sebab-dan-akibat terjadi. Tidak ada waktu,
tidak ada sebab dan akibat. Jika permulaan waktu sama dengan permulaan alam
semesta, seperti yang dikatakan teorema ru-ang-waktu, maka sebab alam semesta
haruslah entitas yang bekerja dalam dimensi waktu yang sepenuhnya mandiri dan
hadir lebih dulu daripada di-mensi waktu kosmos... ini berarti bahwa Pencipta
itu transenden, bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini
berarti bahwa Tuhan bukan alam semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada
di dalam alam semesta.
3. Keseimbangan Dalam Ledakan
Energi ledakan alam
semesta mengimbangi gaya gravitasinya dengan ketepatan yang nyaris tak dapat
dipercaya. Dentuman Besar jelas bukanlah sembarang ledakan di masa lalu, namun
ledakan dengan kekuatan yang dirancang begitu indah.
Dalam bab pertama, kita
mempelajari penciptaan alam semesta dari ketiadaan sebagai hasil ledakan
dahsyat. Mari kita kaji implikasi dari kenyataan ini. Para ilmuwan
memperkirakan di seluruh alam semesta terdapat 300 miliar galaksi.
Galaksi-galaksi ini me-miliki beberapa bentuk berbeda (spiral, elips, dan
lain-lain) dan masing-masing memiliki bintang kira-kira sebanyak jumlah galaksi
di alam se-mesta. Salah satu bintang ini, Matahari, memiliki sembilan planet
utama yang mengitarinya dalam keserasian yang luar biasa. Seluruh manusia hidup
di planet ketiga dihitung dari matahari.
Perhatikan sekitar Anda:
Apakah yang Anda lihat tampak seperti sebaran materi yang berserakan tidak
karuan? Tentu saja tidak. Namun, bagaimana materi membentuk galaksi-galaksi
yang teratur seandainya materi itu tersebar secara acak? Mengapa materi
berkumpul di satu titik dan membentuk bintang? Bagaimana keseimbangan yang
begitu indah pada tata surya dapat muncul dari ledakan yang dahsyat? Ini adalah
per-tanyaan-pertanyaan penting dan menuntun kita pada pertanyaan yang
sesungguhnya yaitu bagaimana alam semesta tersusun setelah Dentuman Besar.
Jika Dentuman Besar
benar-benar ledakan yang maha menghancur-kan, maka masuk akal untuk
memperkirakan bahwa materi akan tersebar ke segala penjuru secara acak. Namun
ternyata tidak demikian. Materi hasil Dentuman Besar tersusun menjadi planet,
bintang, galaksi, kluster, dan superkluster. Seolah-olah sebuah bom meledak
dalam lumbung dan menjadikan seluruh gandum terisikan ke dalam karung, dan
tersusun rapi di atas truk, siap untuk dikirimkan, bukannya tersebar
acak-acakan ke seluruh penjuru. Fred Hoyle, penentang setia teori Den-tuman
Besar, mengemukakan keterkejutannya sendiri akan keteraturan ini:
Teori Dentuman Besar
menyatakan alam semesta dimulai dengan ledakan tunggal. Namun seperti terlihat
pada bagian berikut, sebuah ledakan hanya akan membuat materi terlontar secara
acak, namun Dentuman Besar secara misterius memberikan hasil berlawanan dengan
materi terkumpul dalam bentuk galaksi-galaksi.
Bahwa materi yang
dihasilkan Dentuman Besar membentuk susun-an yang begitu rapi dan teratur
memang suatu hal yang luar biasa. Terbe-ntuknya keserasian yang luar biasa
tersebut menuntun kita kepada kenyataan bahwa alam semesta merupakan ciptaan
sempurna Allah.
“Dan langit itu Kami
bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar
meluaskannya.” (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47)
0 Response to "3 Bukti Ilmiah Bahwa Alam Semesta Diciptakan"
Post a Comment