3 Bukti Ilmiah Bahwa Alam Semesta Diciptakan

Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa yang memberikan perintah? 

Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan para ahli astronomi. Alasannya adalah peneri-maan umum atas gagasan bahwa alam semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan berang-gapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mem-punyai awal. Tidak ada momen “penciptaan”, yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya muncul.

Gagasan “keberadaan abadi” ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di dunia Yunani kuno, menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagat raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filsafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawi dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemun-duran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan luas di antara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap filsafat Yunani kuno.

Immanuel Kant-lah yang pada masa Pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas, betapapun mus-tahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus mempertahan-kan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada awal abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal— bahwa tidak pernah ada momen ketika jagat raya di-ciptakan—secara luas diterima. Pandangan ini diba-wa ke abad ke-20 melalui karya-karya materialis dia-lektik seperti Karl Marx dan Friedrich Engels.

Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sa-ngat sesuai dengan ateisme. Tidak sulit melihat alas-annya. Untuk meyakini bahwa alam semesta mem-punyai permulaan, bisa berarti bahwa ia di-ciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk menghin-dari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa “alam semesta ada selamanya”, meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apa pun untuk membuat klaim seperti itu. Georges Politzer, yang mendukung dan memper-tahankan gagasan ini dalam buku-bukunya yang di-terbitkan pada awal abad ke-20, adalah pendukung setia Marxisme dan Materialisme.

Dengan mempercayai kebenaran model “jagat raya tanpa batas”, Politzer menolak gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fonda-mentaux de Philosophie ketika dia menulis:

Alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagat raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa diterima sains.

Politzer menganggap sains berada di pihaknya dalam pem-belaan-nya terhadap gagasan alam semesta tanpa batas. Kenyataannya, sains merupakan bukti bahwa jagat raya sungguh-sungguh mempunyai per-mulaan. Dan seperti yang dinyatakan Politzer sendiri, jika ada penciptaan maka harus ada penciptanya.

1. Pengembangan Alam Semesta
    dan Penemuan Dentuman Besar

Tahun 1920-an adalah tahun yang penting dalam perkembangan as-tronomi modern. Pada tahun 1922, ahli fisika Rusia, Alexandra Friedman, menghasilkan perhitungan yang menunjukkan bahwa struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil pun mungkin cukup untuk menyebabkan struktur keseluruhan mengembang atau mengerut menurut Teori Relativitas Einstein. George Lemaitre adalah orang pertama yang menyadari apa arti perhitungan Friedman. Berdasarkan perhitungan ini, astronomer Belgia, Lemaitre, menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia mengembang sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai ukuran akibat (aftermath) dari “sesuatu” itu.

Pemikiran teoretis kedua ilmuwan ini tidak menarik banyak per-hatian dan barangkali akan terabaikan kalau saja tidak ditemukan bukti pengamatan baru yang mengguncangkan dunia ilmiah pada tahun 1929. Pada tahun itu, astronomer Amerika, Edwin Hubble, yang bekerja di Observatorium Mount Wilson California, membuat penemuan paling penting dalam sejarah astronomi. Ketika mengamati sejumlah bintang melalui teleskop raksasanya, dia menemukan bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke arah ujung merah spektrum, dan bahwa per-geseran itu berkaitan langsung dengan jarak bintang-bintang dari bumi. Penemuan ini mengguncangkan landasan model alam semesta yang dipercaya saat itu.

Menurut aturan fisika yang diketahui, spektrum berkas cahaya yang mendekati titik observasi cenderung ke arah ungu, sementara spektrum berkas cahaya yang menjauhi titik observasi cenderung ke arah merah. (Seperti suara peluit kereta yang semakin samar ketika kereta semakin jauh dari pengamat). Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa menurut hukum ini, benda-benda luar angkasa menjauh dari kita. Tidak lama kemudian, Hubble membuat penemuan penting lagi; bintang-bintang tidak hanya menjauh dari bumi; mereka juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diturunkan dari alam semesta di mana segala sesuatunya saling menjauh adalah bahwa alam semesta dengan konstan “mengembang”.

Hubble menemukan bukti pengamatan untuk sesuatu yang telah “diramalkan” George Lamaitre sebelumnya, dan salah satu pemikir terbesar zaman kita telah menyadari ini hampir lima belas tahun lebih awal. Pada tahun 1915, Albert Einstein telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan-perhitungan ber-dasarkan teori relativitas yang baru ditemukannya (yang mengantisipasi kesimpulan Friedman dan Lemaitre). Terkejut oleh temuannya, Einstein menambahkan “konstanta kosmologis” pada persamaannya agar muncul “jawaban yang benar”, karena para ahli astronomi meyakinkan dia bah-wa alam semesta itu statis dan tidak ada cara lain untuk membuat persa-maannya sesuai dengan model seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein mengakui bahwa konstanta kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam karirnya.

Penemuan Hubble bahwa alam semesta mengembang memuncul-kan model lain yang tidak membutuhkan tipuan untuk menghasilkan persamaan sesuai dengan keinginan. Jika alam semesta semakin besar sejalan dengan waktu, mundur ke masa lalu berarti alam semesta semakin kecil; dan jika seseorang bisa mundur cukup jauh, segala sesuatunya akan mengerut dan bertemu pada satu titik. Kesimpulan yang harus diturun-kan dari model ini adalah bahwa pada suatu saat, semua materi di alam semesta ini terpadatkan dalam massa satu titik yang mempunyai “volume nol” karena gaya gravitasinya yang sangat besar. Alam semesta kita muncul dari hasil ledakan massa yang mempunyai volume nol ini. Ledakan ini mendapat sebutan “Dentuman Besar” dan keberadaannya telah berulang-ulang ditegaskan dengan bukti pengamatan.

Ada kebenaran lain yang ditunjukkan Dentuman Besar ini. Untuk mengatakan bahwa sesuatu mempunyai volume nol adalah sama saja dengan mengatakan sesuatu itu “tidak ada”. Seluruh alam semesta dicip-takan dari “ketidakadaan” ini. Dan lebih jauh, alam semesta mempunyai permulaan, berlawanan dengan pendapat materialisme, yang mengata-kan bahwa “alam semesta sudah ada selamanya”.

Teori Dentuman Besar dengan cepat diterima luas oleh dunia ilmiah karena bukti-bukti yang jelas. Namun, para ahli astronomi yang memihak materialisme dan setia pada gagasan alam semesta tanpa batas yang dituntut paham ini menentang Dentuman Besar dalam usaha mereka mempertahankan doktrin fundamental ideologi mereka. Alasan mereka dijelaskan oleh ahli astronomi Inggris, Arthur Eddington, yang berkata, “Secara filosofis, pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keter-aturan alam sekarang ini bertentangan denganku.”

Ahli astronomi lain yang menentang teori Dentuman Besar adalah Fred Hoyle. Sekitar pertengahan abad ke-20 dia mengemukakan sebuah model baru yang disebutnya “keadaan-stabil”, yang tak lebih suatu per-panjangan gagasan abad ke-19 tentang alam semesta tanpa batas. Dengan menerima bukti-bukti yang tidak bisa disangkal bahwa jagat raya mengembang, dia berpendapat bahwa alam semesta tak terbatas, baik dalam dimensi maupun waktu. Menurut model ini, ketika jagat raya mengembang, materi baru terus-menerus muncul dengan sendirinya dalam jumlah yang tepat sehingga alam semesta tetap berada dalam “keadaan-stabil”. Dengan satu tujuan jelas mendukung dogma “materi sudah ada sejak waktu tak terbatas”, yang merupakan basis filsafat mate-rialis, teori ini mutlak bertentangan dengan “teori Dentuman Besar”, yang menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan. Pendukung teori keadaan-stabil Hoyle tetap berkeras menentang Dentuman Besar selama bertahun-tahun. Namun, sains menyangkal mereka.

2. Kemenangan Dentuman Besar

Pada tahun 1948, George Gamov mengembangkan perhitungan George Lemaitre lebih jauh dan menghasilkan gagasan baru mengenai Dentuman Besar. Jika alam semesta terbentuk dalam sebuah ledakan be-sar yang tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu radiasi yang ditinggalkan dari ledakan tersebut. Radiasi ini harus bisa dideteksi, dan lebih jauh, harus sama di selu-ruh alam semesta.

Dalam dua dekade, bukti pengamatan dugaan Gamov diperoleh. Pada tahun 1965, dua peneliti ber-nama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan sebentuk radiasi yang selama ini tidak teramati. Dise-but “radiasi latar belakang kosmik”, radiasi ini tidak seperti apa pun yang berasal dari seluruh alam semesta karena luar biasa seragam. Radiasi ini tidak dibatasi, juga tidak mempunyai sumber tertentu; alih-alih, radiasi ini tersebar merata di seluruh jagat raya. Segera disadari bahwa radiasi ini adalah gema Dentuman Besar, yang masih menggema balik sejak momen pertama ledakan besar tersebut. Gamov telah mengamati bahwa frekuen-si radiasi hampir mempu-nyai nilai yang sama dengan yang telah di-perkirakan oleh para ilmu-wan sebelumnya. Penzias dan Wilson dianugerahi hadi-ah Nobel untuk penemuan mereka.

Pada tahun 1989, George Smoot dan tim NASA-nya meluncurkan sebuah satelit ke luar angkasa. Sebuah in-strumen sensitif yang disebut “Cosmic Background Emission Explorer” (COBE) di dalam satelit itu hanya memerlukan delapan menit untuk mendeteksi dan menegaskan tingkat radiasi yang dilaporkan Penzias dan Wilson. Hasil ini secara pasti menun-jukkan keberadaan bentuk rapat dan panas sisa dari ledakan yang menghasilkan alam semesta. Kebanyakan ilmuwan mengakui bahwa COBE telah berhasil menangkap sisa-sisa Dentuman Besar.

Ada lagi bukti-bukti yang muncul untuk Dentuman Besar. Salah satunya berhubungan dengan jumlah relatif hidrogen dan helium di alam semesta. Pengamatan menunjukkan bahwa campuran kedua unsur ini di alam semesta sesuai dengan perhitungan teoretis dari apa yang seharus-nya tersisa setelah Dentuman Besar. Bukti itu memberikan tusukan lagi ke jantung teori keadaan-stabil karena jika jagat raya sudah ada selamanya dan tidak mempunyai permulaan, semua hidrogennya telah terbakar menjadi helium.

Dihadapkan pada bukti seperti itu, Dentuman Besar memperoleh persetujuan dunia ilmiah nyaris sepenuhnya. Dalam sebuah artikel edisi Oktober 1994, Scientific American menyatakan bahwa model Dentuman Besar adalah satu-satunya yang dapat menjelaskan pengembangan terus menerus alam semesta dan hasil-hasil pengamatan lainnya.

Setelah mempertahankan teori Keadaan-Stabil bersama Fred Hoyle, Dennis Sciama menggambarkan dilema mereka di hadapan bukti Den-tuman Besar. Dia berkata bahwa semula dia mendukung Hoyle, namun setelah bukti mulai menumpuk, dia harus mengakui bahwa pertempuran telah usai dan bahwa teori keadaan-stabil harus ditinggalkan.

Siapa yang Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan?

Dengan kemenangan Dentuman Besar, tesis “alam semesta tanpa batas”, yang membentuk basis bagi dogma materialis, dibuang ke tum-pukan sampah sejarah. Namun bagi materialis, muncul pula dua perta-nyaan yang tidak mengenakkan: Apa yang sudah ada sebelum Dentuman Besar? Dan kekuatan apa yang telah menyebabkan Dentuman Besar sehingga memunculkan alam semesta yang tidak ada sebelumnya?

Materialis seperti Arthur Eddington menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini dapat mengarah pada keberadaan pencipta agung dan itu tidak mereka sukai. Filsuf ateis, Anthony Flew, mengomentari masalah ini:

Jelas sekali, pengakuan itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan mulai dengan mengakui bahwa penganut ateis Stratonis harus merasa malu dengan konsensus kosmologis dewasa ini. Karena tampaknya para ahli kos-mologi menyediakan bukti ilmiah untuk apa yang dianggap St. Thomas tidak terbukti secara filosofis; yaitu, bahwa alam semesta mempunyai permulaan. Selama alam semesta dapat dengan mudah dianggap tidak hanya tanpa akhir, namun juga tanpa permulaan, akan tetap mudah untuk mendesak bahwa keberadaannya yang tiba-tiba, dan apa pun yang ditemukan menjadi ciri-cirinya yang paling mendasar, harus diterima sebagai penjelasan akhir. Meskipun saya mempercayai bahwa teori itu (alam semesta tanpa batas) masih benar, tentu saja tidak mudah atau nyaman untuk mempertahankan posisi ini di hadapan kisah Dentuman Besar.

Banyak ilmuwan yang tidak mau memaksakan diri menjadi ateis menerima dan mendukung keberadaan pencipta yang mempunyai kekuatan tak terbatas. Misalnya, ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross, menyatakan Pencipta jagat raya, yang berada di atas segala dimensi fisik, sebagai:

Secara definisi, waktu adalah dimensi di mana fenomena sebab-dan-akibat terjadi. Tidak ada waktu, tidak ada sebab dan akibat. Jika permulaan waktu sama dengan permulaan alam semesta, seperti yang dikatakan teorema ru-ang-waktu, maka sebab alam semesta haruslah entitas yang bekerja dalam dimensi waktu yang sepenuhnya mandiri dan hadir lebih dulu daripada di-mensi waktu kosmos... ini berarti bahwa Pencipta itu transenden, bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini berarti bahwa Tuhan bukan alam semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada di dalam alam semesta.

3. Keseimbangan Dalam Ledakan

Energi ledakan alam semesta mengimbangi gaya gravitasinya dengan ketepatan yang nyaris tak dapat dipercaya. Dentuman Besar jelas bukanlah sembarang ledakan di masa lalu, namun ledakan dengan kekuatan yang dirancang begitu indah.

Dalam bab pertama, kita mempelajari penciptaan alam semesta dari ketiadaan sebagai hasil ledakan dahsyat. Mari kita kaji implikasi dari kenyataan ini. Para ilmuwan memperkirakan di seluruh alam semesta terdapat 300 miliar galaksi. Galaksi-galaksi ini me-miliki beberapa bentuk berbeda (spiral, elips, dan lain-lain) dan masing-masing memiliki bintang kira-kira sebanyak jumlah galaksi di alam se-mesta. Salah satu bintang ini, Matahari, memiliki sembilan planet utama yang mengitarinya dalam keserasian yang luar biasa. Seluruh manusia hidup di planet ketiga dihitung dari matahari.

Perhatikan sekitar Anda: Apakah yang Anda lihat tampak seperti sebaran materi yang berserakan tidak karuan? Tentu saja tidak. Namun, bagaimana materi membentuk galaksi-galaksi yang teratur seandainya materi itu tersebar secara acak? Mengapa materi berkumpul di satu titik dan membentuk bintang? Bagaimana keseimbangan yang begitu indah pada tata surya dapat muncul dari ledakan yang dahsyat? Ini adalah per-tanyaan-pertanyaan penting dan menuntun kita pada pertanyaan yang sesungguhnya yaitu bagaimana alam semesta tersusun setelah Dentuman Besar.

Jika Dentuman Besar benar-benar ledakan yang maha menghancur-kan, maka masuk akal untuk memperkirakan bahwa materi akan tersebar ke segala penjuru secara acak. Namun ternyata tidak demikian. Materi hasil Dentuman Besar tersusun menjadi planet, bintang, galaksi, kluster, dan superkluster. Seolah-olah sebuah bom meledak dalam lumbung dan menjadikan seluruh gandum terisikan ke dalam karung, dan tersusun rapi di atas truk, siap untuk dikirimkan, bukannya tersebar acak-acakan ke seluruh penjuru. Fred Hoyle, penentang setia teori Den-tuman Besar, mengemukakan keterkejutannya sendiri akan keteraturan ini:

Teori Dentuman Besar menyatakan alam semesta dimulai dengan ledakan tunggal. Namun seperti terlihat pada bagian berikut, sebuah ledakan hanya akan membuat materi terlontar secara acak, namun Dentuman Besar secara misterius memberikan hasil berlawanan dengan materi terkumpul dalam bentuk galaksi-galaksi.

Bahwa materi yang dihasilkan Dentuman Besar membentuk susun-an yang begitu rapi dan teratur memang suatu hal yang luar biasa. Terbe-ntuknya keserasian yang luar biasa tersebut menuntun kita kepada kenyataan bahwa alam semesta merupakan ciptaan sempurna Allah.

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47)

Related Posts:

0 Response to "3 Bukti Ilmiah Bahwa Alam Semesta Diciptakan"

Post a Comment